KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena limpahan rahmat
dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA DAN ETIKA POLITIK” dengan lancar.
Dalam
menyelesaikan makalah ini tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada guru
pembimbing yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan juga masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, dan untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Lamongan,
7 Desember 2010
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................. 1
DAFTAR
ISI............................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................... 3
A. Latar Belakang.................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah............................................................................... 4
c. Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
BAB
II. PEMBAHASAN............................................................................ 5
A. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara........................................ 5
B. pengertian Etika Politik....................................................................... 5
C. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik............................. 8
BAB
III. PENUTUP.................................................................................. 22
A. Kesimpulan....................................................................................... 22
B. Saran................................................................................................. 23
Daftar
Pustaka.......................................................................................... 24
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala
penjabaran norma, baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan
lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung di dalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komperhensif (menyeluruh) dan sistem
pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat
tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu
tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila
memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia
baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun manakala
nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau
kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai
tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga
merupakan suatu pedoman.
Sila-sila pancasila pada hakikatnya
bukanlah merupakan suatu melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika
yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang
ada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral
maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana asal mula terbentuknya
pancasila?
2.
Apa makna dari pancasila sebagai dasar
negara?
3.
Apakah yang dimaksud dengan etika
politik?
4.
Apa nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika politik?
C.
Tujuan
penulisan
1. Untuk
mengetahui asal mula terbentuknya pancasila.
2. Untuk
mengetahui makna dari Pancasila sebagai dasar negara.
3. Untuk
mendeskripsikan maksud dari etika politik.
4. Untuk
mendeskripsikan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika politik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal
mula tebentuknya Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi
bangsa dan negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak serta bukan hanya
diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain
di dunia. Namu terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam
sejarah bangsa Indonesia.
Secara kausalitas Pancasila sebelum disyahkan
menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa
Indonesia sendiri yang berupa adat istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai
tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur,
antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang Panitia Sembilan yang
kemudian menghasilkan Piagam Jakarta yang memuat Pancasila yang pertama kali,
kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia
sebelum sidang resmi PPKI Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas
serta disempurnakan kembali dan akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disyahkan
oleh PPKI sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia.
B.
Pancasila
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Fungsi filsafat yang pertama adalah mempertanyakan dan
menjawab “apakah dasar dari kehidupan berpolitik atau kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sangatlah tepat pertanyaan yang diajukan oleh Ketua
BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat di hadapan rapat BPUPKI bahwa “Negara
Indonesia yang akan kita bentuk itu apa dasarnya”? Soekarno menafsirkan
pertanyaan itu sebagai berikut: “Menurut anggapan saya, yang diminta oleh
Paduka tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda: ‘philosophische
grondlsag’ dari pada Indonesia Merdeka. Philosophische grondslag
itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. “Dasar
Negara” dapat disebut pula “ ideologi negara”, seperti dikatakan oleh Mohammad
Hatta: “Pembukaan UUD, karena memuatnya di dalamnya Pancasila sebagai
ideologi Negara, beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan
pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tatanegara
Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu dengan Pancasila
sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik Negara dan
perundang-undangan Negara, supaya terdapat Indonesia merdeka seperti
dicita-citakan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”
Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang
dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara, sebagaimana
dikatakan Bung Hatta, “ideologi Negara” yaitu prinsip-prinsip atau asas
membangun Negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu “doktrin” yang lengkap, yang
begitu saja dapat dijabarkan dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang
memberikan arah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau suatu dasar
rasional, yang merupakan hasil konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang
Negara dan bangsa yang akan dibangun.
Karena masing-masing sila dari Pancasila akan diuraikan dalam rangkaian
diskusi dalam Kongres ini, maka kami hanya akan memberikan catatan kecil saja:
1.
Sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa” dirumuskan dalam konteks politik: membangun Negara dan bangsa
Indonesia, maka merupakan suatu prinsip politik, bukan suatu prinsip teologis.
Implikasinya ialah bahwa Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama
di Indonesia; Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama
apapun wajib bersatu untuk membangun Negara dan bangsa. Hal ini sangat jelas
dari ajakan Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila” untuk bersama-sama
membangun Negara dan bangsa Indonesia
2.
Sila “Perikemanusiaan yang adil dan
beradab”mengimplikasikan bahwa Negara memperlakukan setiap warganegara
atas dasar pengakuan martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir dari
martabatnya itu.Jelaslah bahwa sila kedua ini menolak kekerasan yang dilakukan
terhadap warganegara baik oleh Negara, kelompok atau individu. Kekerasan yang
paling keji adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti martabat manusia
sendiri, yaitu kebebasannya.”Hewan mencari mangsanya. Mangsa Manusia adalah
kebebasan”. Kekerasan pada jaman sekarang kerapkali dikaitkan dengan identitas,
religius atau etnik, yang lebih banyak diproduksi daripada direproduksi
3.
Sila “Persatuan Indonesia” terkait dengan faham
kebangsaan. Bangsa bukan sesuatu yang diwariskan dari masa lalu, tetapi suatu
“proyek dan tantangan bersama” bagi masa kini dan masa depan. Oleh karena itu
harus melibatkan semua dan tak seorangpun warga yang dieksklusifkan.
4.
Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan”,
menunjuk kepada pembatasan kekuasaan Negara dengan partisipasi rakyat
dalam pengambilan keputusan. “Kita dapat berbicara mengenai sistem demokratik,
apabila unsur-unsur konstitusi, hukum dan sistem parelemen menerapkan tiga
prinsip: pembatasan kekuasaan Negara atas nama hak asasi, keterwakilan pelaku
politik dan kewarganegaraan.
5.
Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
paling sedikit memuat unsur-unsur: pemerataan, persamaan dan kebebasan untuk
menentukan dirinya sendiri.
C. PENGERTIAN ETIKA POLITIK
1. Pengertian Etika
Etika
merupakan salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan molaritastingkah
laku manusia. Etika membicarakan seluruh kepribadian baik hati nurani, ucapan
dan perbuatan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Hati nurani
merupakan hal yang paling penting, tetapi ia adalah yang paling sukar untuk
diamati. Sedangkan perbuatan atau tingkah laku sangat mudah untuk diamati. Oleh
karena itu, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tinngkah laku manusia
yang dilakukan dengan sadar dilihat dari sudut baik buruknya.
Sebagai
cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia, etika memberikan
standar atau penilaian terhadap tingkah laku manusia. Berkaitan dengan hal
tersebut, etika dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan, yaitu:
a.
Etika deskriptif ialah etika yang hanya menerangkan apa adanya tanpa
memberikan penilaian.
b.
Etika normative ialah etika yang mengemukakan suatu penilaian mana
yang baik dan mana yang buruk, dan apa yang sebagainya dilakukan oleh
seseorang.
c.
Etika individual ialah etika yang objeknya tingkah laku manusia sebagai
makhluk individu. Misalnya berkaitan dengan tujuan hidup manusia.
d.
Etika social ialah etika yang membicarakan tingkah laku dan
perbuatan manusia dengan hubungannya dengan orang lain. Misalnnya dalam keluarga,
masyarakat, Negara dan sebagainya.
Kempat klasifikasi tersebut, menegaskan bahwa etika
berkaitan dengan masalah nilai. Hal ini dikarenakan etika pada hakekatnya
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai yaitu susila
dan asusila, baik dan buruk. Secara khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang
menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kewajiban
yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan
bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya
etika lebih banyak berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam
hubungan dengan tingkah laku manusia. Dapat juga dikatakan bahwa etika
berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungannya dengan tingkah laku
manusia.
2. Pengertian dan hubungan Nilai, Norma, dan Moral
a. Pengertian Nilai
Menurut Dictionary
of Sosciology and Relatet Sciences mengemukakan bahwa nilai adalah
kemampuan yang dipercayai ada dan
melekat pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Dengan demikian, secara
sederhana nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap berharga dan
berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya,
nilai dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)
Nilai dasar , yaitu berupa hakekat, esensi, intisari atau makna
yang terkandung dalam makna-makna tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal
, karena menyangkut kenyataan objektif dari segala sesuatu. Misalnya, hakekat
Tuhan, manusia dan makhluk lainnya. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila
berkedudukan sebagai nilai dasar yang menjadi sumber etika dalam kehidupan
setiap rakyat Indonesia.
2)
Nilai instrumental, yaitu nilai yang pedoman pelaksanaan dari nilai dasar.
Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila nilai dasar tersebut belum
memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkret. Apabila nilai Instrumental itu berkaitan
dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka nilai tersebut
akan menjadi norma moral. Akan tetapi jika nilai instrumental itu berkaitan
dengan suatu organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan
suatu arahan kebijakan yang bersumber pada nilai dasar, sehingga nilai
instrumental dapat dikatakan sebagai eksplisitasi dari nilai dasar.
3)
Nilai praksis, yaitu realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu
pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Nilai prakis dijiwai oleh nilai-nilai dasar dan instrumental dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar dan instrumental. Dalam
kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai praktis dapat kita
temukan dalam semua peraturan perundang-undangan yang tingkatannya dibawah
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945atau yang sering kita sebut
dengan undang-undang organik yang meliputi ketentuan MPR, Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu), Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah.
b. Pengertian Norma
Norma adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi
dalam menjalankan kehidupan. Norma berlaku dalam kehidupan dikeluarga,
masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma merupakan kaidah,
petunjuk, panduan, tatanan dan kendati terhadap tingkah laku manusia sebagai anggota
masyarakat. Biasanya norma itu disesuaikan dengan adat istiadat masyarakat
setempat. Norma juga dipengaruhi oleh keyakinan agama yang dianut warga
masyarakat.
Pada dasarnya norma yang berlaku dimasyarakatan
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan dan norma hokum.
Norma agama, yaitu petunjuk hidup yang bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui utusan-utusan-Nya (Rosul/Nabi) yang berisi perintah,
larangan atau anjuran-anjuran. Sanksi terhadap pelanggaran norma agama sifatnya
tidak langsung, karena akan diperoleh setelah meninggal dunia (pahala atau
dosa).
Norma kesusilaan, yaitu petunjuk pergaulan hidup yang bersumber dari
hati nurani manusia tentang baik buruknya suatu perbuatan. Sanksi yang
diberikan sifatnya tidak tegas, karena diri sendiri yang merasakan (merasa
bersalah, menyesal, malu dan sebagainya).
Norma
kesopanan, yaitu
petunjuk hidup yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat.
Sanksi yang diberikan terhadap yang melanggarnya sifatnya tidk tegas tapi dapat
diberikan oleh masyarakat dalam bentuk celaan, cemoohan atau pengucilan
terhadap pergaulan.
Norma
hukum, yaitu petunjuk
hidup yang dibuat oleh badan yang berwenang mengatur manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (berisi perintah dan laranggan) sanksi terhadap
pelanggaran norma hokum sifatnya tegas dan nyata serta mengikat dan memaksa
bagi setiap orang yang terkecuali, biasanya berbentuk hukuman penjara dan
denda.
c. Pengertian Moral
Moral adalah ajaran tentang hal baik dan hal buruk
yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral memiliki keterkaitan
yang sangat erat dengan etika, bahkan kadangkala kedua hal tersebut sering
dipersamakan. Akan tetapi, sebenarnya moral dan etika memiliki perbedaan. Moral
merupakan suatu ajaran, wejangan, patokan, dan kumpulan peraturan baik tertulis
atau tidak tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak, supaya
menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika merupakan cabang filsafat yaitu
suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral tersebut. Dengan kata lain pada hakekatnya etika
merupakan ilmu pengetahuan yang membahas prinsip-prinsip moralitas.
d. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai, norma dan moral adalah tiga hal yang saling
berkaitan dan tidak bisa dilepas dari kehidupan manusia dalam berbagai aspek.
Dengan kata lain, kehidupan manusia dalam bermasyarakat, baik secara individu
ataupun insane social, senantiasa berhubungan dengan nilai, norma dan moral.
Nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Sebagai suatu yang abstrak, nilai
memerlukan adanya suatu penjabaran yang kongkrit dan objektif. Adapun wujud
yang lebih kongkrit dari nilai yaitu norma, yang merupakan ukuran dan criteria
sikap dan tindakan yang dikehendaki oleh tata nilai yang diketahui. Nilai dan
norma juga tidak dipisahkan dari moral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa
peraturan, prinsip-prinsip yang benar, terpuji dan mulia. Bidang moral adalah
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Oleh karena
itu, dalam kaitannya dengan aspek norma, moral berwujud sebagai norma-norma
moral yang merupakan tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dari segi baik dan buruknya sebagai manusia dan bukan
sebagai pelaku peran tertentu yang terbatas. Dalam hal ini, norma-norma moral
juga merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Sehingga
moral berkedudukan sebagai penilai sikap dan perilaku manusia. Dengan demikian
dapat dipastikan bahwa nilai, norma dan aspek moral secara bersama mengatur
kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Pengertian Politik
Politik
adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik yang menyangkut proses penentuan
dan pelaksanaan dari tujuan sistem politik tersebut. Ada lima pandangan tentang
makna konsep politik yaitu:
A. Klasik
Sebagaimana dikemukakan oleh
Aristoteles, pandangan klasik melihat politik sebagai asosiasi warga negara
yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut
kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Pendapat tersebut secara tegas
membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik)
dengan urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu. Urusan-urusan yang
menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada
urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu.
B. Kelembagaan
Pandangan
ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang
secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah
tertentu. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan saingan untuk membagi
kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara
maupun antar kelompok di dalam suatu negara.
C. Kekuasaan
Pandangan
ini melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari hakekat, kedudukan dan penggunaan kekuasaan dimanapun kekuasaan itu
ditemukan. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan sosiologis. Hal ini
membuat konsep politik memiliki ruang lingkup yang luas dan juga mencakup
gejala-gejala sosial seperti serikat buruh, organisasi keagamaan, organisasi
kemahasiswaan dan kaum militer. Pendekatan sosiologis ini membuat kosep politik
lebih dinamis karena memperhatikan proses.
D. Fungsionalisme
Fungsionalisme
memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksakan kebijakan umum. Dengan kata lain, politik merupakan kegiatan para
elit politik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Oleh karena itu, Joyce Mitchell mengatakan bahwa
politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum
untuk masyarakat seluruhnya.
E. Konflik
Pandangan
ini melihat sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan
sumber-sumber nilai yang dianggap penting.
Menurut
pandagan ini, kegiatan untuk mempenggaruhi proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan umum tidak lain sebagai upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan
nilai-nilai. Dalam
memperjuangkan upaya itu, sering
kali terjadi perbedaan pendapat,
perdebatan, persaingan bahkan pertentangan yang
bersifat fisik diantara berbagai pihak yang berujung pada terciptanya konflik. Oleh karena itu, pada dasarnya politik adalah
konflik, sebab konflik merupakan gejala yang
selalu hadir dalam kehidupan masyarakat dan termasuk kedalam proses politik. Selain itu konflik merupakan gejala
yang melekat dalam setiap proses politik.
Dalam
kelima pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum politik dapat diartikan sebagai berbagai macam kegiatan dalam suatu
sistem politik/negara yang menyangkut kemaslakhatan hidup seluruh warga negara.
Politik pada dasarnya
menyangkut tujuan-tujuan masyarakat,bukan tujuan pribadi.
Untuk itu, politik
sebagian besar menyangkut kegiatan partai politik dan organisasi
kemasyarakatan,walaupun tidak menutup kemungkinan bagi kegiatan-kegiatan yang
bersifat perseorangan.
4. Dimensi Politik Manusia
1. Manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial
Manusia lahir atau dilahirkan sebagai
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (individu) antara aspek jasmani dan
rohaninya. Ia lahir sebagai individu.
Selain makhluk individu, manusia juga
sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia menurut kodratnya harus hidup
berdampingan dengan orang lain dalam suatu komuitas yang disebut dengan
masyarakat. Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa manusia itu adalah Zoon
Politicon, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat.
Terdapat empat aspek yang mendorong
manusia untuk bekerja sama dengan orang lain, yaitu:
1. Aspek
Biologis
Manusia ingin tetap
hidup dan mempertahankan kelangsungan hidupnya yang hanya bisa dicapai secara
kerja sama dengan sesama.
2. Aspek
Psikologis
Yaitu kesediaan kerja
sama untuk menghilangkan rasa kejemuan dan mempertahankan harga diri sebagai
anggota pergaulan hidup bersama manusia.
3. Aspek
Ekonomis
Yaitu kesediaan manusia
bekerja sama supaya dapat memenuhi, mencukupi dan memuaskan segala macam
kebutuhan.
4. Aspek
Kultural
Manusia sadar bahwa
segala usahanya untuk menciptakan sesuatu hanya bisa dihasilkan tidak secara
sendirian.
Kedudukan
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial menempatkan manusia sebagai
makhluk monodualistis. Artinya, kedua kedudukan tersebut tidak bisa dipisahakan
dan selalu melekat dalam diri manusia.
2. Dimensi Politik Kehidupan
Manusia
Dimensi
politik manusia memiliki dua segi fundamental, yaitu pegertian dan kehendak
untuk bertindak, sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap
aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini senantiasa berhadapan dengan tindakan
moral manusia. Manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat
yang ditimbulkan karena tanggung jawabnya pada orang lain. Akan tetapi, karena
keterbatasan pengertian bahkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap manusia
lainnya dan masyarakat, maka tindakan pelanggaran moral akan dilakukan dan
berakibat pada timbulnya kerugian yang diterima manusia lainnya. Aspek
kemampuan untuk melakukan dan tidak melakukan suatu tindakan secara moral tergantung pada akal budi
manusia.
Kehidupan
manusia harus ditata secara normatif, jika manusia sudah tidak dapat memenuhi
suatu tingkatan moralitas dalam kehidupannya ketika menghadapi hak orang lain
dalam masyarakat. Adapun lembaga yang menata secara normatif itu ialah hukum.
Hukum memberitahukan kepada seluruh anggota masyarakat bagaiman mereka harus
bertindak. Akan tetapi, hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif
serta otomatis mampu menjamin agar setiap masyarakat taat kepada hukum. Oleh
karena itu, diperlukan organisasi negara yang notabene mempunyai kekuasaan
untuk memaksakan kehendaknya, termasuk memaksa masyarakat untuk taat kepada
hukum yang berlaku. Akan tetapi perlu dipahami, bahwa negara yang mempunyai
kekuasaan seperti itu merupakan perwujudan sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan sosial. Jadi lembaga negara merupakan wujud dalam kehendak manusia
untuk hidup bersama. Dengan demikian hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek
yang berkaitan langsung dengan etika politik dan keduanya memerlukan suatu legitimasi.
D. Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika
Politik
Sebagaimana
diungkapkan sebelumnya, bahwa pancasila merupakan dasar etika politik bagi
bangsa Indonesia. Hal ini mengandung pengertian, nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap sila.
Pancasila menjadi sumber etika politik
yang harus selalu mewarnai dan diamalkan dalam kehidupan politik bangsa
indonesia baik oleh rakyat ataupun penguasa. Oleh karena itu dapat dikatakan
kehidupan politik meliputi berbagai aktifitas politik dinilai etis, jika selalu berpijak kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan
indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta selalu ditujukan untuk mencapai keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan
dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu
dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku dan dilaksanakan berdasarkan prinsip–prinsip moral (legitimasi moral). Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan
penyelanggaraan negara, baik itu yang berhubungan dengan kekuasaan, kebijakan
umum, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam pancasila. Dengan
demikian, pancasila merupakan sumber moralitas dalam proses penyelenggaraan
negara, terutama dalam hubunganya denagn
legitimasi kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakkan hukum
dinilai bermoral jika selalu berdasarkan pancasila, bukan berdasarkan
kepentingan penguasa belaka. Jadi pancasila merupakan tolok ukur moralitas
suatu penggunaan kekuasaan dan penegakan hukum.
Negara
Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut secara
normatif merupakan artikulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, harus diingat, pernyataan tersebut bukan
sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah negara Teokrasi yang mendasarkan
kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara berdasarkan legitimasi religius,
dimana kekuasaan kepala negara bersifat absolut atau mutlak. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa lebih berkaitan legitimasi moral. Artinya, proses penyelenggaraan
negara dan kehidupan negara tidak boleh diarahkan pada paham anti-Tuhan dan
anti-agama, akan kehidupan dan penyelenggaraan negara harus selalu bedasarkan
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila pertama merupakan
legitimasi moral religius bagi bangsa Indonesia.
Selain
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, negara Indonesia juga harus berkemanusiaan
yang adil dan beradab. Dengan kata lain, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab memberikan
legitimasi moral kemanusiaan dalam penyelenggaraan negara. Negara pada
prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa. Manusia merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaran
negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan mempunyai kedudukan mutlak dalam
kehidupan negara dan hukum, sehingga jaminan hak asasi manusia harus diberikan
kepada setiap warga negara. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mempunyai
keterkaitan sangat erat dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila
tersebut memberikan legitimasi moral religius (sila Ketuhanan Yang Maha Esa)
dan legitimas moral kemanusiaan (sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) dalam
kehidupan dan proses penyelenggaraan negara, sehingga Indonesia terjerumus
kedalam negara kekuasaan (machtsstaats).
Negara
Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari unsur persatuan. Sila Persatuan
Indonesia memberikan suatu penegasan bahwa negara Indonesia merupakan suatu
kesatuan dalam hal Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Proses penyelenggaraan negara harus selalu didasari oleh asas persatuan, dimana
setiap kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa tidak ditujukan untuk memecah
belah bangsa, tetapi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan
Indonesia merupakan perwujudan paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu
paham kebangsaan Indonesia bukanlah paham kebangsaan yang sempit (chauvinistis),
tetapi paham kebangsaan yang selalu menghargai bangsa lain. Nasionalisme
Indonesia mengatasi paham golongan,suku bangsa serta keturunan.
Sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa
Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa negara berasal dari rakyat dan segala
kebijakan dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini memberikan
legitimasi demokrasi bagi penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kewenangan
dan kekuasaan harus sesuai kehendak rakyat. Dengan demikian, aktivitas politik
praktis yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
konsep pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi harus berdasarkan
legitimasi dari rakyat.
Sila
keadilan sosial bagi seluruh Indonesia memberikan legitimasi hukum (legalitas)
dalam kehidupan dan penyelenggaraan negara. Indonesia merupakan negara hukum
yang selalu menjunjung tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan
tujuan dalm kehidupan negara, yang menunjukkan setiap warga negara Indonesia
mendapatkan perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut, kehidupan
dan penyelenggaraan negara harus senantiasa berdasarkan hukum yang berlaku.
Penyelenggaraan terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan
akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara, yang bisa
mengakibatkan hancurnya tatanan hidup kenegaraan serta terpecahnya persatuan
dan kesatuan bangsa.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam setiap sila Pancasila harus dijadikan patokan bagi setiap
penyelenggara negara dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut harus
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga pada akhirnya akan
terbentu suatu pemerintahan yang etis serta rakyat yang bermoral pula.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kehidupan politik
rakyat indonesia selalu didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Pancasila
merupakan landasan dan tujuan kehidupan politik bangsa kita. Berkaitan dengan
hal tersebut , proses pembangunan politik yang sedang berlangsung dinegara kita
sekarang ini harus diarahkan pada proses implementasi sistem politik demokrasi
pancasila yang handal, yaitu sistem politik yang tidak hanya kuat tetapi juga
memilki kualitas kemandirian yang tinggi yang memungkinkannya untuk membangun
atau menggembangkan dirinya secara terus menerus sesuai dengan tuntutan
aspirasi masyarakatnya dan perubahan
zaman. Dengan demikian, sistem politik demokrasi pancasila akan terus berkembang bersamaan dengan perkembangan jati dirinya,
sehingga senantiasa mempertahankan, memelihara dan memperkuat relevansinya
dalam kehidupan politik. Nilai-nilainya bukan saja dihayati dan dibudayakan,
tetapi diamalkan dalam kehidupan politik bangsa dan negara kita yang terus
berkembang. Oleh karena itu, secara langsung pancasila telah dijadikan etika
politik seluruh komponen bangsa dan negara indonesia
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah
ini penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurang-kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya akan lebih
baik dari sekarang,dan
kami juga berharap:
·
Penerapan
Pancasila sebagai dasar negara dan etika politik harus terus di kembangkan dan di terapkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
·
Kami
berharap dengan mempelajari makna Panasila sebagai dasar negara
dan etika politik,kita menjadi
mengerti dan paham baik teori maupun penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Komalasari,
Koko. 2002. Pendidikan Pancasila.
Surabaya:Lentera Cendekia.
Darmodiharjo,
Darji. Mimbar BP-7. Pengertian Nilai,
Norma, Moral, Etika, Pandangan hidup. Jakarta:BP-7 Pusat, 1995/1996, No.
76.
Susena,
Franz Magnis. Etika Politik.
Jakarta:Gramedia, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar