Minggu, 13 Mei 2012

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN ETIKA POLITIK


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena limpahan rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN ETIKA POLITIK” dengan lancar.
Dalam menyelesaikan makalah ini tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada guru pembimbing yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan juga masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, dan untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih.

                                                                           Lamongan, 7  Desember 2010

                                                                                             Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. 1
DAFTAR ISI............................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................... 3
A. Latar Belakang.................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah............................................................................... 4
c. Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
BAB II. PEMBAHASAN............................................................................ 5
A. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara........................................ 5
B. pengertian Etika Politik....................................................................... 5
C. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik............................. 8
BAB III. PENUTUP.................................................................................. 22
A. Kesimpulan....................................................................................... 22
B. Saran................................................................................................. 23
Daftar Pustaka.......................................................................................... 24






BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma, baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komperhensif  (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman.
Sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang ada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.


B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana asal mula terbentuknya pancasila?
2.    Apa makna dari pancasila sebagai dasar negara?
3.    Apakah yang dimaksud dengan etika politik?
4.    Apa nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika politik?

C.   Tujuan penulisan
1.     Untuk mengetahui asal mula terbentuknya pancasila.
2.     Untuk mengetahui makna dari Pancasila sebagai dasar negara.
3.     Untuk mendeskripsikan maksud dari etika politik.
4.     Untuk mendeskripsikan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika politik.












BAB II
PEMBAHASAN
A.     Asal mula tebentuknya Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia. Namu terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.
Secara kausalitas Pancasila sebelum disyahkan menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa adat istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta yang memuat Pancasila yang pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta disempurnakan kembali dan akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disyahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia.

B.     Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Fungsi filsafat yang pertama adalah mempertanyakan dan menjawab  “apakah dasar dari kehidupan berpolitik atau kehidupan berbangsa dan bernegara.  Sangatlah tepat pertanyaan yang diajukan oleh  Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat di hadapan rapat BPUPKI bahwa “Negara Indonesia yang akan kita bentuk itu apa dasarnya”? Soekarno menafsirkan pertanyaan itu sebagai berikut: “Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda: ‘philosophische grondlsag’  dari pada Indonesia Merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. “Dasar Negara” dapat disebut pula “ ideologi negara”, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta: “Pembukaan  UUD, karena memuatnya di dalamnya Pancasila sebagai ideologi Negara, beserta dua pernyataan lainnya  yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tatanegara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik Negara dan perundang-undangan Negara, supaya terdapat Indonesia  merdeka seperti dicita-citakan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”
Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “ideologi Negara” yaitu prinsip-prinsip atau asas membangun Negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu “doktrin” yang lengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan  dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang memberikan arah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau  suatu dasar rasional, yang merupakan hasil  konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang Negara dan bangsa yang akan dibangun.
Karena masing-masing sila dari Pancasila akan diuraikan dalam rangkaian diskusi dalam Kongres ini, maka kami hanya akan memberikan catatan kecil saja:
1.     Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dirumuskan dalam konteks politik: membangun Negara dan bangsa Indonesia, maka merupakan suatu prinsip politik, bukan suatu prinsip teologis. Implikasinya  ialah bahwa Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia; Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama apapun wajib bersatu untuk membangun Negara dan bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila” untuk bersama-sama membangun Negara dan bangsa Indonesia
2.     Sila “Perikemanusiaan  yang adil dan beradab”mengimplikasikan  bahwa Negara memperlakukan setiap warganegara atas dasar pengakuan martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir dari martabatnya itu.Jelaslah bahwa sila kedua ini menolak kekerasan yang dilakukan terhadap warganegara baik oleh Negara, kelompok atau individu. Kekerasan yang paling keji adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti martabat manusia sendiri, yaitu kebebasannya.”Hewan mencari mangsanya. Mangsa Manusia adalah kebebasan”. Kekerasan pada jaman sekarang kerapkali dikaitkan dengan identitas, religius atau etnik, yang lebih banyak diproduksi daripada direproduksi
3.     Sila “Persatuan Indonesia” terkait dengan faham kebangsaan. Bangsa bukan sesuatu yang diwariskan dari masa lalu, tetapi suatu “proyek dan tantangan bersama” bagi masa kini dan masa depan. Oleh karena itu harus melibatkan semua dan tak seorangpun warga yang dieksklusifkan.
4.     Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan”,  menunjuk kepada pembatasan kekuasaan Negara dengan partisipasi  rakyat dalam pengambilan keputusan. “Kita dapat berbicara mengenai sistem demokratik, apabila unsur-unsur konstitusi, hukum dan sistem parelemen menerapkan tiga prinsip: pembatasan kekuasaan Negara atas nama hak asasi, keterwakilan pelaku politik dan kewarganegaraan.
5.     Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” paling sedikit memuat unsur-unsur: pemerataan, persamaan dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri.

C.     PENGERTIAN ETIKA POLITIK
1. Pengertian Etika
Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan molaritastingkah laku manusia. Etika membicarakan seluruh kepribadian baik hati nurani, ucapan dan perbuatan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Hati nurani merupakan hal yang paling penting, tetapi ia adalah yang paling sukar untuk diamati. Sedangkan perbuatan atau tingkah laku sangat mudah untuk diamati. Oleh karena itu, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tinngkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar dilihat dari sudut baik buruknya.
Sebagai cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia, etika memberikan standar atau penilaian terhadap tingkah laku manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, etika dapat diklasifikasikan kedalam empat golongan, yaitu:
a.        Etika deskriptif ialah etika yang hanya menerangkan apa adanya tanpa memberikan penilaian.
b.        Etika normative ialah etika yang mengemukakan suatu penilaian mana yang baik dan mana yang buruk, dan apa yang sebagainya dilakukan oleh seseorang.
c.         Etika individual ialah etika yang objeknya tingkah laku manusia sebagai makhluk individu. Misalnya berkaitan dengan tujuan hidup manusia.
d.        Etika social ialah etika yang membicarakan tingkah laku dan perbuatan manusia dengan hubungannya dengan orang lain. Misalnnya dalam keluarga, masyarakat, Negara dan sebagainya.

Kempat klasifikasi tersebut, menegaskan bahwa etika berkaitan dengan masalah nilai. Hal ini dikarenakan etika pada hakekatnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai yaitu susila dan asusila, baik dan buruk. Secara khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak.  Kualitas-kualitas ini dinamakan kewajiban yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.

2. Pengertian dan hubungan Nilai, Norma, dan Moral
a. Pengertian Nilai
Menurut Dictionary of Sosciology and Relatet Sciences mengemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai  ada dan melekat pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Dengan demikian, secara sederhana nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya, nilai dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)       Nilai dasar , yaitu berupa hakekat, esensi, intisari atau makna yang terkandung dalam makna-makna tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal , karena menyangkut kenyataan objektif dari segala sesuatu. Misalnya, hakekat Tuhan, manusia dan makhluk lainnya. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila berkedudukan sebagai nilai dasar yang menjadi sumber etika dalam kehidupan setiap rakyat Indonesia.
2)       Nilai instrumental, yaitu nilai yang pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila nilai dasar tersebut belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkret.  Apabila nilai Instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, maka nilai tersebut akan menjadi norma moral. Akan tetapi jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan kebijakan yang bersumber pada nilai dasar, sehingga nilai instrumental dapat dikatakan sebagai eksplisitasi dari nilai dasar.
3)       Nilai praksis, yaitu realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai prakis dijiwai oleh nilai-nilai dasar dan instrumental dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar dan instrumental. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai praktis dapat kita temukan dalam semua peraturan perundang-undangan yang tingkatannya dibawah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945atau yang sering kita sebut dengan undang-undang organik yang meliputi ketentuan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah.
b. Pengertian Norma
Norma adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi dalam menjalankan kehidupan. Norma berlaku dalam kehidupan dikeluarga, masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma merupakan kaidah, petunjuk, panduan, tatanan dan kendati terhadap tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat. Biasanya norma itu disesuaikan dengan adat istiadat masyarakat setempat. Norma juga dipengaruhi oleh keyakinan agama yang dianut warga masyarakat.
Pada dasarnya norma yang berlaku dimasyarakatan dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hokum.
Norma agama, yaitu petunjuk hidup yang bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui utusan-utusan-Nya (Rosul/Nabi) yang berisi perintah, larangan atau anjuran-anjuran. Sanksi terhadap pelanggaran norma agama sifatnya tidak langsung, karena akan diperoleh setelah meninggal dunia (pahala atau dosa).
Norma kesusilaan, yaitu petunjuk pergaulan hidup yang bersumber dari hati nurani manusia tentang baik buruknya suatu perbuatan. Sanksi yang diberikan sifatnya tidak tegas, karena diri sendiri yang merasakan (merasa bersalah, menyesal, malu dan sebagainya).
Norma kesopanan, yaitu petunjuk hidup yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Sanksi yang diberikan terhadap yang melanggarnya sifatnya tidk tegas tapi dapat diberikan oleh masyarakat dalam bentuk celaan, cemoohan atau pengucilan terhadap pergaulan.
Norma hukum, yaitu petunjuk hidup yang dibuat oleh badan yang berwenang mengatur manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (berisi perintah dan laranggan) sanksi terhadap pelanggaran norma hokum sifatnya tegas dan nyata serta mengikat dan memaksa bagi setiap orang yang terkecuali, biasanya berbentuk hukuman penjara dan denda.

c. Pengertian Moral
Moral adalah ajaran tentang hal baik dan hal buruk yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan etika, bahkan kadangkala kedua hal tersebut sering dipersamakan. Akan tetapi, sebenarnya moral dan etika memiliki perbedaan. Moral merupakan suatu ajaran, wejangan, patokan, dan kumpulan peraturan baik tertulis atau tidak tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak, supaya menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika merupakan cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut. Dengan kata lain pada hakekatnya etika merupakan ilmu pengetahuan yang membahas prinsip-prinsip moralitas.

d. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai, norma dan moral adalah tiga hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dilepas dari kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Dengan kata lain, kehidupan manusia dalam bermasyarakat, baik secara individu ataupun insane social, senantiasa berhubungan dengan nilai, norma dan moral.
Nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Sebagai suatu yang abstrak, nilai memerlukan adanya suatu penjabaran yang kongkrit dan objektif. Adapun wujud yang lebih kongkrit dari nilai yaitu norma, yang merupakan ukuran dan criteria sikap dan tindakan yang dikehendaki oleh tata nilai yang diketahui. Nilai dan norma juga tidak dipisahkan dari moral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, terpuji dan mulia. Bidang moral adalah kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan aspek norma, moral berwujud sebagai norma-norma moral yang merupakan tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik dan buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu yang terbatas. Dalam hal ini, norma-norma moral juga merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Sehingga moral berkedudukan sebagai penilai sikap dan perilaku manusia. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa nilai, norma dan aspek moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek.

3. Pengertian Politik
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan dari tujuan sistem politik tersebut. Ada lima pandangan tentang makna konsep politik yaitu:
A. Klasik
Sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, pandangan klasik melihat politik sebagai asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Pendapat tersebut secara tegas membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu. Urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu.
B. Kelembagaan
Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan saingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara maupun antar kelompok di dalam suatu negara.
C. Kekuasaan
Pandangan ini melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakekat, kedudukan dan penggunaan kekuasaan dimanapun kekuasaan itu ditemukan. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan sosiologis. Hal ini membuat konsep politik memiliki ruang lingkup yang luas dan juga mencakup gejala-gejala sosial seperti serikat buruh, organisasi keagamaan, organisasi kemahasiswaan dan kaum militer. Pendekatan sosiologis ini membuat kosep politik lebih dinamis karena memperhatikan proses.
D. Fungsionalisme
Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksakan kebijakan umum. Dengan kata lain, politik merupakan kegiatan para elit politik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Oleh karena itu, Joyce Mitchell mengatakan bahwa politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.
E. Konflik
Pandangan ini melihat sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber nilai yang dianggap penting. Menurut pandagan ini, kegiatan untuk mempenggaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tidak lain sebagai upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya itu, sering kali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara berbagai pihak yang berujung pada terciptanya konflik. Oleh karena itu, pada dasarnya politik adalah konflik, sebab konflik merupakan gejala yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat dan termasuk kedalam proses politik. Selain itu konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap proses politik.
Dalam kelima pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa secara  umum politik dapat diartikan sebagai berbagai macam kegiatan dalam suatu sistem politik/negara yang menyangkut kemaslakhatan hidup seluruh warga negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat,bukan tujuan pribadi. Untuk itu, politik sebagian besar menyangkut kegiatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan,walaupun tidak menutup kemungkinan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat perseorangan.

4. Dimensi Politik Manusia
1. Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Manusia lahir atau dilahirkan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (individu) antara aspek jasmani dan rohaninya. Ia lahir sebagai individu.
Selain makhluk individu, manusia juga sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia menurut kodratnya harus hidup berdampingan dengan orang lain dalam suatu komuitas yang disebut dengan masyarakat. Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat.
Terdapat empat aspek yang mendorong manusia untuk bekerja sama dengan orang lain, yaitu:
1.     Aspek Biologis
Manusia ingin tetap hidup dan mempertahankan kelangsungan hidupnya yang hanya bisa dicapai secara kerja sama dengan sesama.
2.     Aspek Psikologis
Yaitu kesediaan kerja sama untuk menghilangkan rasa kejemuan dan mempertahankan harga diri sebagai anggota pergaulan hidup bersama manusia.
3.     Aspek Ekonomis
Yaitu kesediaan manusia bekerja sama supaya dapat memenuhi, mencukupi dan memuaskan segala macam kebutuhan.
4.     Aspek Kultural
Manusia sadar bahwa segala usahanya untuk menciptakan sesuatu hanya bisa dihasilkan tidak secara sendirian.
Kedudukan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial menempatkan manusia sebagai makhluk monodualistis. Artinya, kedua kedudukan tersebut tidak bisa dipisahakan dan selalu melekat dalam diri manusia.

2. Dimensi Politik Kehidupan Manusia
Dimensi politik manusia memiliki dua segi fundamental, yaitu pegertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia. Manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tanggung jawabnya pada orang lain. Akan tetapi, karena keterbatasan pengertian bahkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap manusia lainnya dan masyarakat, maka tindakan pelanggaran moral akan dilakukan dan berakibat pada timbulnya kerugian yang diterima manusia lainnya. Aspek kemampuan untuk melakukan dan tidak melakukan suatu tindakan  secara moral tergantung pada akal budi manusia.
Kehidupan manusia harus ditata secara normatif, jika manusia sudah tidak dapat memenuhi suatu tingkatan moralitas dalam kehidupannya ketika menghadapi hak orang lain dalam masyarakat. Adapun lembaga yang menata secara normatif itu ialah hukum. Hukum memberitahukan kepada seluruh anggota masyarakat bagaiman mereka harus bertindak. Akan tetapi, hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif serta otomatis mampu menjamin agar setiap masyarakat taat kepada hukum. Oleh karena itu, diperlukan organisasi negara yang notabene mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, termasuk memaksa masyarakat untuk taat kepada hukum yang berlaku. Akan tetapi perlu dipahami, bahwa negara yang mempunyai kekuasaan seperti itu merupakan perwujudan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Jadi lembaga negara merupakan wujud dalam kehendak manusia untuk hidup bersama. Dengan demikian hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika politik dan keduanya memerlukan suatu legitimasi.

D.      Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, bahwa pancasila merupakan dasar etika politik bagi bangsa Indonesia. Hal ini mengandung pengertian, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila.    Pancasila menjadi sumber etika politik yang harus selalu mewarnai dan diamalkan dalam kehidupan politik bangsa indonesia  baik oleh rakyat ataupun penguasa. Oleh karena itu dapat dikatakan kehidupan politik meliputi berbagai aktifitas politik dinilai etis, jika selalu berpijak kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta selalu ditujukan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum  yang berlaku dan dilaksanakan berdasarkan prinsip–prinsip moral (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan penyelanggaraan negara, baik itu yang berhubungan dengan kekuasaan, kebijakan umum, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila. Dengan demikian, pancasila merupakan sumber moralitas dalam proses penyelenggaraan negara, terutama dalam hubunganya denagn legitimasi kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakkan hukum dinilai bermoral jika selalu berdasarkan pancasila, bukan berdasarkan kepentingan penguasa belaka. Jadi pancasila merupakan tolok ukur moralitas suatu penggunaan kekuasaan dan penegakan hukum.
Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut secara normatif merupakan artikulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, harus diingat, pernyataan tersebut bukan sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah negara Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara berdasarkan legitimasi religius, dimana kekuasaan kepala negara bersifat absolut atau mutlak. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa lebih berkaitan legitimasi moral. Artinya, proses penyelenggaraan negara dan kehidupan negara tidak boleh diarahkan pada paham anti-Tuhan dan anti-agama, akan kehidupan dan penyelenggaraan negara harus selalu bedasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila pertama merupakan legitimasi moral religius bagi bangsa Indonesia.
Selain berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, negara Indonesia juga harus berkemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan kata lain, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab memberikan legitimasi moral kemanusiaan dalam penyelenggaraan negara. Negara pada prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusia merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan mempunyai kedudukan mutlak dalam kehidupan negara dan hukum, sehingga jaminan hak asasi manusia harus diberikan kepada setiap warga negara. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mempunyai keterkaitan sangat erat dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila tersebut memberikan legitimasi moral religius (sila Ketuhanan Yang Maha Esa) dan legitimas moral kemanusiaan (sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) dalam kehidupan dan proses penyelenggaraan negara, sehingga Indonesia terjerumus kedalam negara kekuasaan (machtsstaats).
Negara Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari unsur persatuan. Sila Persatuan Indonesia memberikan suatu penegasan bahwa negara Indonesia merupakan suatu kesatuan dalam hal Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Proses penyelenggaraan negara harus selalu didasari oleh asas persatuan, dimana setiap kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa tidak ditujukan untuk memecah belah bangsa, tetapi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan Indonesia merupakan perwujudan paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu paham kebangsaan Indonesia bukanlah paham kebangsaan yang sempit (chauvinistis), tetapi paham kebangsaan yang selalu menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan,suku bangsa serta keturunan.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa negara berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini memberikan legitimasi demokrasi bagi penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kewenangan dan kekuasaan harus sesuai kehendak rakyat. Dengan demikian, aktivitas politik praktis yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta konsep pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat.
Sila keadilan sosial bagi seluruh Indonesia memberikan legitimasi hukum (legalitas) dalam kehidupan dan penyelenggaraan negara. Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjunjung tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan tujuan dalm kehidupan negara, yang menunjukkan setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut, kehidupan dan penyelenggaraan negara harus senantiasa berdasarkan hukum yang berlaku. Penyelenggaraan terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara, yang bisa mengakibatkan hancurnya tatanan hidup kenegaraan serta terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila harus dijadikan patokan bagi setiap penyelenggara negara dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut harus diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga pada akhirnya akan terbentu suatu pemerintahan yang etis serta rakyat yang bermoral pula.










BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
          Kehidupan politik rakyat indonesia selalu didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan landasan dan tujuan kehidupan politik bangsa kita. Berkaitan dengan hal tersebut , proses pembangunan politik yang sedang berlangsung dinegara kita sekarang ini harus diarahkan pada proses implementasi sistem politik demokrasi pancasila yang handal, yaitu sistem politik yang tidak hanya kuat tetapi juga memilki kualitas kemandirian yang tinggi yang memungkinkannya untuk membangun atau menggembangkan dirinya secara terus menerus sesuai dengan tuntutan aspirasi masyarakatnya  dan perubahan zaman. Dengan demikian, sistem politik demokrasi pancasila akan terus berkembang  bersamaan dengan perkembangan jati dirinya, sehingga senantiasa mempertahankan, memelihara dan memperkuat relevansinya dalam kehidupan politik. Nilai-nilainya bukan saja dihayati dan dibudayakan, tetapi diamalkan dalam kehidupan politik bangsa dan negara kita yang terus berkembang. Oleh karena itu, secara langsung pancasila telah dijadikan etika politik seluruh komponen bangsa dan negara indonesia








B.   Saran
       Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurang-kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya akan lebih baik dari sekarang,dan kami juga berharap:

·        Penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan etika politik harus terus di kembangkan dan di terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
·        Kami berharap dengan mempelajari makna Panasila sebagai dasar negara dan etika politik,kita menjadi mengerti dan paham baik teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.















DAFTAR PUSTAKA
Komalasari, Koko. 2002. Pendidikan Pancasila. Surabaya:Lentera Cendekia.
Darmodiharjo, Darji. Mimbar BP-7. Pengertian Nilai, Norma, Moral, Etika, Pandangan hidup. Jakarta:BP-7 Pusat, 1995/1996, No. 76.
Susena, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta:Gramedia, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar